Di tahun 2025, Gen Z akan mengisi seperempat populasi Asia Pasifik dan hampir 30% dari tenaga kerja global seiring dengan semakin banyaknya tim multigenerasi. Namun, generasi yang sedang berkembang ini tengah menghadapi tantangan kesehatan mental yang serius, dimana sekitar 6 dari 10 orang di Asia berisiko tinggi - lebih tinggi dari generasi lainnya.
Bagi penyedia kerja, kenyataan pahit ini menyoroti pentingnya menciptakan strategi kesehatan mental yang inklusif dan mudah diterapkan serta memperhatikan keragaman generasi.
Sebagai bagian dari kampanye Hari Kesehatan Mental Sedunia 2024, kami mengajak masyarakat untuk turut serta dalam Penilaian Kesehatan Mental Naluri, guna menyoroti tren dan situasi kesehatan mental di Asia yang terus berkembang. Penilaian ini menawarkan wawasan bermanfaat terkait kemajuan di wilayah ini, tantangan yang tengah dihadapi, dan apa yang bisa dilakukan penyedia kerja untuk mendorong peningkatan yang berkelanjutan.
Tahun ini, Naluri melakukan survei pada lebih dari 28.000 orang di tujuh negara Asia: Malaysia, Singapura, Indonesia, Thailand, Filipina, Vietnam, dan Hong Kong, yang ditambahkan dalam penilaian kami menyusul meningkatnya masalah kesehatan mental terkait aksi kekerasan baru-baru ini dan menurunnya kepuasan hidup pelajar di negara tesebut.
Kami memanfaatkan Emotional Wellbeing Assessment (EWA), sebuah alat yang dikembangkan oleh Naluri dengan memadukan elemen-elemen kunci dari GAD-7, PHQ-9, dan DASS-21 sebagai alat ukur kesehatan emosional yang praktis dan menyeluruh. Temuan kami menunjukkan adanya wilayah yang menyeimbangkan antara urgensi dengan optimisme penuh kehati-hatian.
Di tahun 2024, sebanyak 58% responden berisiko tinggi mengalami tantangan kesehatan mental - meningkat 4% dibanding tahun 2023, menandakan adanya intervensi berkelanjutan seperti kampanye kesadaran dan inisiatif kesehatan mental di tempat kerja yang membuahkan hasil.
Namun, masih ada kesenjangan krusial, terutama dalam mengatasi kelelahan dan menurunnya produktivitas, dimana berdampak langsung pada kinerja organisasi dan berujung pada biaya finansial yang signifikan. Faktanya, biaya global untuk kondisi kesehatan mental, seperti depresi dan kecemasan, diperkirakan akan meningkat menjadi US$6 triliun pada tahun 2030.
Untuk mengatasi berbagai tantangan ini, kita perlu melihat lebih dalam bagaimana wilayah ini menangani masalah kesehatan mental dan area-area yang masih butuh perhatian.
Tantangan kesehatan mental berbeda-beda di seluruh Asia, memunculkan keunikan tersendiri bagi para penyedia kerja yang menjalankan bisnisnya di pasar berbeda.
Temuan utama
Tuntutan ekonomi dan norma-norma budaya memegang peranan yang berbeda dalam membentuk hasilnya di setiap negara. Memahami berbagai faktor ini bisa membantu organisasi untuk menyesuaikan strategi kesejahteraan karyawan secara efektif.
Berikut ini data tahun 2024 yang menunjukkan kondisi kesehatan mental di berbagai negara di Asia.
Di Malaysia, sekitar 51% penduduknya masih berisiko tinggi menghadapi tantangan kesehatan mental. Namun, hal ini menunjukkan peningkatan 11% dalam kurun waktu empat tahun terakhir, pertanda adanya kemajuan yang stabil.
Perubahan positif ini berkat inisiatif nasional dalam upaya meningkatkan literasi dan penanganan kesehatan mental serta meningkatnya ketersediaan platform telekonsultasi, saluran bantuan seperti Talian Kasih, dan terapi tersubsidi dari pemerintah. Selain itu, upaya pemulihan ekonomi, termasuk penciptaan lapangan kerja dan stabilitas politik, secara tak langsung turut berkontribusi pada kesejahteraan mental yang lebih baik.
Namun, tantangan masih terus ada, terutama di daerah perkotaan di mana ketatnya persaingan dan buruknya keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi memperparah tingkat stres. Kaum muda Malaysia juga dihadapkan pada risiko media sosial yang semakin meningkat, seperti cyberbullying, dimana semakin membebani kesehatan mental mereka.
Kondisi kesehatan mental di Singapura menunjukkan gambaran kompleks. Meski 59% penduduknya masih berisiko tinggi mengalami masalah kesehatan mental, ini menandai peningkatan sebesar 4% sejak tahun 2023.
Kemajuan ini berkat inisiatif seperti perlindungan kesehatan mental di tempat kerja yang makin kuat, gerakan nasional seperti “Beyond the Label”, dan akses luas ke layanan seperti Care Hotline dan konseling berbasis teks. Selain itu, Healthier SG, inisiatif utama pemerintah yang menggalakkan perawatan kesehatan preventif, turut memajukan upaya kesehatan mental melalui kemitraan dan rencana kesehatan khusus yang mencakup penilaian kesehatan mental bagi warga Singapura.
Kendati ada kemajuan ini, kelelahan di tempat kerja terus menjadi masalah pelik, semakin diperparah oleh tuntutan pasar kerja yang sangat kompetitif. Generasi muda sangat rentan, berjuang dengan tuntutan finansial, budaya pencapaian yang tinggi, dan tantangan tambahan berupa cyberbullying dan persoalan pencitraan diri-keduanya diperparah dengan penggunaan media sosial berlebih.
Indonesia berhasil membuat langkah luar biasa dalam mengatasi tantangan kesehatan mental selama empat tahun terakhir. Meski 56% dari penduduknya masih berisiko tinggi, angka ini menunjukkan peningkatan pesat sebesar 17% sejak tahun 2023.
Upaya kerjasama antara pemerintah dan sektor swasta saat ini tengah memperkenalkan Program Bantuan Karyawan (Employee Assistance Programs/EAP) di tempat kerja untuk meningkatkan kesehatan mental. Pemerintah juga memerintahkan badan usaha milik negara (BUMN) untuk menerapkan program kesehatan mental, dan banyak dari mereka yang mulai bertindak.
Upaya penting lainnya antara lain program pelatihan bagi tenaga kesehatan dan gerakan “Indonesia Bebas Pasung”, dimana gerakan ini ditujukan untuk mengakhiri praktik kejam pemasungan terhadap orang dengan gangguan jiwa. Bersama-sama, berbagai inisiatif ini mendorong kemajuan pesat dalam meningkatkan kesadaran dan dukungan terhadap kesehatan mental.
Namun sayangnya, tantangan terus berlanjut seperti terbatasnya akses ke layanan kesehatan mental di daerah terpencil, diperburuk oleh hambatan ekonomi dan logistik, masih terus menghambat kemajuan. Selain itu, stigma budaya yang sudah mengakar kuat menghalangi masyarakat untuk mencari layanan yang mereka butuhkan.
Thailand berhasil mencapai kemajuan besar dalam perawatan kesehatan mental, dimana penduduknya berisiko tinggi paling rendah dalam permasalahan kesehatan mental hanya 38% tahun ini.
Pencapaian ini tidak lepas dari Rencana Pembangunan Kesehatan Mental Nasional jangka panjang, yang mengutamakan perawatan pencegahan dan program berbasis sekolah, serta integrasi layanan kesehatan mental ke dalam perawatan primer, didukung oleh sukarelawan kesehatan masyarakat.
Kendati adanya kemajuan-kemajuan ini, kekurangan tenaga profesional kesehatan mental di daerah yang belum terjangkau, ditambah dengan tuntutan ekonomi dan stigma budaya yang masih melekat, masih menjadi hambatan. Mengatasi kendala-kendala ini sangat penting untuk menciptakan sistem kesehatan mental yang lebih inklusif dan mudah diakses oleh penduduk Thailand.
Kesehatan mental di Filipina menggambarkan perpaduan antara kemajuan dan tantangan yang masih ada. Meski 68% penduduknya masih berisiko tinggi-angka tertinggi di wilayah ini tahun ini-menandai peningkatan penting, dengan penurunan signifikan sebesar 14% dari puncaknya pada tahun 2022.
Faktor-faktor penyebabnya antara lain inisiatif seperti kampanye kesadaran #MentalHealthPH, layanan telekonsultasi, dan program dukungan dari tingkat bawah untuk membiasakan diri mencari bantuan. Tindakan pemberantasan kemiskinan dan opsi pembiayaan mikro juga turut membantu mengurangi tekanan ekonomi.
Namun, daerah pedesaan masih dihadapkan pada kesenjangan signifikan dalam hal layanan, dan ketimpangan ekonomi yang terus berlanjut serta kerusuhan politik terus memperburuk masalah stres dan kesehatan mental, terutama di antara populasi yang rentan.
Vietnam terus berjuang menghadapi tantangan kesehatan mental yang serius, karena 57% dari penduduknya masih berisiko tinggi. Namun, ada sedikit peningkatan sejak negara ini pertama kali menjadi bagian dari penilaian kami tahun lalu.
Program nasional yang mengutamakan kesehatan mental anak muda dan pencegahan bunuh diri, serta inisiatif lokal seperti kampanye “Open Up & Connect” oleh UNICEF Vietnam, berkontribusi dalam meningkatkan kesadaran dan memperluas akses dukungan.
Namun, kurangnya kebijakan kesehatan mental serta minimnya tenaga profesional terlatih masih terus membatasi layanan di daerah pedesaan, dan isu-isu yang muncul, seperti dampak polusi terhadap tingkat stres, semakin menyoroti perlunya penelitian dan intervensi lanjutan.
Tahun ini, Hong Kong turut serta dalam penilaian dengan 59% penduduknya berisiko tinggi menghadapi tantangan kesehatan mental.
Menanggapi hal ini, beberapa inisiatif tengah berjalan: Komite Penasihat Kesehatan Mental melakukan advokasi untuk langkah-langkah kebijakan yang lebih kuat dan menyeluruh, sementara Proyek Uji Coba Pemikiran Sehat (Healthy Mind Pilot Project) menawarkan penilaian kesehatan mental secara gratis bagi anggota masyarakat. Ditambah lagi, banyak perusahaan mengenalkan EAP guna memerangi tekanan akibat stres di tempat kerja.
Kendati demikian, tantangan besar masih tetap ada, termasuk tekanan finansial parah akibat tingginya biaya hidup dan terbatasnya keterjangkauan perumahan. Kerusuhan sosial dan politik yang tengah berlangsung juga memicu munculnya kecemasan dan stres berkepanjangan. Faktor-faktor ini dirasakan sangat berat oleh generasi muda karena mereka menghadapi masa depan yang penuh ketidakpastian sembari berusaha membangun kemandirian.
Di seluruh penjuru dunia, Gen Z (lahir antara tahun 1997 dan 2012) konsisten menjadi generasi paling rentan, dengan 66% tergolong berisiko tinggi—meski hal ini menunjukkan adanya peningkatan sebesar 10% dari tahun lalu.
Generasi Milenial (lahir antara tahun 1981 dan 1996) juga sangat terdampak, dengan 48% menghadapi tantangan kesehatan mental. Sebaliknya, Gen X (lahir antara tahun 1965 dan 1980) tampaknya jauh lebih baik, dengan 28% tergolong berisiko tinggi.
Di bawah ini rincian tingkat risiko kesehatan mental di seluruh generasi di setiap negara.
Gen Z menghadapi beragam tantangan unik dan berat akibat berbagai faktor. Perjuangan di awal karier dan tuntutan masyarakat dalam memenuhi ekspektasi tradisional - seperti mendapat pekerjaan stabil, membeli rumah, dan menjalani kehidupan berkeluarga - membuat banyak anak muda generasi ini mengalami stres luar biasa.
Beban ini semakin bertambah dengan adanya koneksi digital yang terus menerus mewarnai kehidupan modern. Media sosial dan tuntutan pekerjaan yang serba cepat membuat garis batas antara waktu kerja dan waktu pribadi menjadi samar, mengganggu keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi, serta berdampak pada kepercayaan diri dan kesejahteraan emosional.
Ketidakstabilan keuangan semakin memperburuk masalah ini. Berbeda dengan generasi sebelumnya, Gen Z menempuh jalan terjal menuju kemapanan finansial, bergulat dengan kenaikan biaya perumahan, pendidikan, dan perawatan kesehatan. Berbagai hambatan ini menciptakan ketidakpastian bagi para profesional muda yang memasuki dunia kerja, dimana kemakmuran terasa semakin jauh dari jangkauan.
Bersama-sama, faktor-faktor ini menggambarkan rintangan kompleks dan sering kali menakutkan dalam mendefinisikan pengalaman Gen Z.
Generasi Milenial, meski sedikit lebih baik dari Gen Z, tetap menghadapi tantangan tersendiri.
Saat mereka membangun karier dan berkeluarga, kebanyakan dari mereka harus menyeimbangkan ambisi profesional dengan tanggung jawab pribadi yang terus bertambah, seperti membesarkan anak dan merawat orang tua yang menua. Keseimbangan ini mendefinisikan sebuah generasi yang menavigasi tuntutan rumit masa dewasa modern.
Bersamaan dengan itu, generasi Milenial di Asia juga menghadapi tekanan finansial seperti kenaikan biaya hidup, utang, dan upah yang tak kunjung naik-semuanya diperburuk akibat ketidakpastian dari lingkungan kerja yang tidak stabil dan rasa kurang nyaman dalam bekerja.
Bagi mereka yang beranjak ke posisi senior atau posisi kepemimpinan, berbagai tekanan ini kian meningkat, menambah tingkat stres dan kesulitan baru dalam kehidupan pribadi dan profesional mereka.
Penyedia kerja berperan penting dalam menciptakan tempat kerja yang aman secara psikologis, namun banyak yang masih kesulitan dalam merancang dan menerapkan inisiatif kesehatan mental yang efektif. Menurut data konsultasi 2024 kami, kesejahteraan karyawan sering kali jauh melampaui stres akibat beban kerja, yang dipengaruhi oleh berbagai faktor.
Berbagai tantangan ini menggarisbawahi tema kesehatan fisik, mental, dan emosional yang saling terkait dimana memengaruhi karyawan baik di dalam maupun di luar tempat kerja.
Lalu, bagaimana perusahaan bisa menciptakan lingkungan inklusif yang mendukung karyawannya dalam menghadapi semua tantangan ini guna meningkatkan kesejahteraan dan kinerja mereka?
Mengubah budaya organisasi dan perilaku karyawan dalam mengutamakan kesejahteraan bukanlah hal yang mudah, namun perubahan bermakna akan jauh lebih mudah dicapai jika disertai dengan tindakan terencana dan terarah. Model Pengaruh dari McKinsey menguraikan empat langkah penting untuk mendorong perubahan secara efektif:
Dengan memadukan berbagai prinsip ini ke dalam strategi kesehatan mental di tempat kerja, organisasi akan mampu menciptakan lingkungan di mana kesejahteraan bukan hanya menjadi prioritas, namun juga menjadi tanggung jawab bersama.
Tahun 2024 menjadi momen penentu bagi para penyedia lapangan kerja di seluruh Asia. Meski kampanye kesadaran sudah membuka jalannya, fokus sekarang harus beralih ke strategi kesejahteraan yang dibuat khusus untuk memenuhi beragam kebutuhan tenaga kerja multigenerasi.
Melalui pendekatan bertarget ini dalam kebijakan tempat kerja, perusahaan mampu menciptakan tenaga kerja yang lebih sehat secara mental serta lebih efektif, mengurangi risiko dan biaya terkait ketidakhadiran, kelelahan, dan perputaran karyawan.
Tertarik untuk menjelajahi bagaimana cara Naluri bisa mendukung organisasi kamu dalam memperjuangkan kesehatan mental di tempat kerja? Pelajari selengkapnya mengenai Program Bantuan Karyawan kami, atau hubungi tim penjualan kami.