Pertanyaan: Saya pikir saya adalah seorang pemimpin yang berempati tetapi apakah ada batasan untuk berempati itu sendiri?
Ketika berbicara tentang soft skills, empati selalu di pertimbangkan sebagai salah satu skill yang diperlukan. Empati adalah kemampuan untuk untuk mengerti dan berbagi perasaan dengan orang lain, hal ini dilihat sebagai antidot untuk stres di tempat kerja dan kekerasan seperti feedback yang diikuti kata kasar, deadline yang terlewatkan dan argumen. Memiliki empati juga dapat memberikan pengalaman yang lebih baik, antisipasi yang lebih terhadap concern dari stakeholder dan meeting yang lebih produktif
Contohnya
Inovasi. Ketika orang-orang menyatakan pemimpin mereka memiliki rempati, mereka cenderung melaporkan bahwa mereka lebih inovatif - 61% karyawan dibandingkan dengan hanya 13% karyawan dengan pemimpin yang kurang berempati.
Interaksi. 76% orang yang merasakan empati dari pemimpin mereka menyatakan bahwa mereka lebih banyak terlibat dalam pekerjaan dibandingkan dengan 32% yang kurang merasakan empati.
Retensi. 57% wanita kulit putih dan 62% wanita dengan kulit berwarna menyatakan mereka tidak akan berpikir tentang meninggalkan perusahaan mereka ketika mereka merasa dihormati dan dihargai oleh perusahaan tersebut. Namun, ketika mereka tidak merasakan value atau rasa hormat itu terhadap mereka, hanya 14% wanita kulit putih dan 30% wanita dengan kulit berwarna menyatakan bahwa mereka akan mempertimbangkan untuk meninggalkan perusahaan.
Inklusivitas. 50% orang dengan pemimpin yang berempati melaporkan bahwa tempat kerja mereka inklusif, dibandingkan dengan 17% dari mereka dengan pemimpin yang kurang berempati.
Kehidupan dan pekerjaan. Ketika orang merasa pemimpin mereka lebih berempati, 86% melaporkan bahwa mereka mampu mengatasi tuntutan pekerjaan dan kehidupan mereka—berhasil mengatasi kewajiban pribadi, keluarga, dan pekerjaan mereka. Ini dibandingkan dengan 60% dari mereka yang kurang mendapatkan empati.
(Sumber: Empati Adalah Keterampilan Kepemimpinan Yang Paling Penting Menurut Penelitian)
Namun, kegagalan mengenali batas-batas empati dapat mengganggu kinerja. Berikut adalah beberapa contoh bahwa bermpati berlebihan dapat menghambat efek positifnya:
Empati yang berlebihan dapat mengubah penilaian kamu
Menempatkan diri kamu pada posisi orang lain, berempati dengan stres dan tantangan mereka, cenderung dapat memprioritaskan mereka secara tidak proporsional di atas orang lain. Sebuah contoh yang baik dari hal ini diilustrasikan dalam studi Universitas Yale di mana (hanya contoh) seorang gadis muda dengan penyakit fatal ditempatkan pada daftar tunggu untuk perawatan yang akan meringankan penyakitnya. Sayangnya, waktu tunggunya sedikit lama. Ketika peserta dalam studi ini mempelajari tentang kesulitan gadis muda ini tentang kesempatan untuk memajukan antrian di daftar tersebut sehingga ia bisa menerima perawatan lebih cepat, sebagian besar (hampir 75%) setuju.
Namun, yang kurang jelas adalah bahwa untuk memajukan antrian, anak-anak lain dalam keadaan yang sama harus dikesampingkan, padahal banyak dari mereka mungkin lebih layak. Inilah yang disebut psikolog sebagai "efek korban yang dapat diidentifikasi" - yaitu, mengetahui orang yang terkena dampak membuat kamu lebih mungkin bertindak untuk kepentingan mereka, terlepas dari dampaknya pada orang lain.
Empati menuntut kompromi dalam setiap keadaan
Semakin banyak empati dicurahkan kepada satu orang, semakin sedikit yang dapat diberikan kepada orang lain, dan hal tersebut dapat memperburuk situasi. Dalam studi ini, para peneliti memeriksa pertukaran yang terkait dengan pekerjaan dan perilaku empati pribadi. Orang-orang yang melaporkan perilaku di tempat kerja seperti meluangkan "waktu untuk mendengarkan masalah dan kekhawatiran rekan kerja" dan membantu "orang lain yang memiliki beban kerja berat" merasa kurang mampu terhubung dengan keluarga mereka. Mereka merasa terkuras secara emosional dan terbebani oleh tuntutan terkait pekerjaan.
Digabungkan dengan poin sebelumnya, mudah untuk melihat bagaimana empati terhadap orang dalam—misalnya, orang-orang di keluarga kita, tim kita, atau di organisasi kita—dapat membatasi kapasitas kita untuk berempati dengan orang-orang di luar lingkaran terdekat kita.
Empati itu melelahkan
Seperti halnya tugas kognitif yang butuh memproses banyak informasi, empati membutuhkan energi mental, dan empati yang berlebihan dapat membuat kamu memprioritaskan perasaan dan kebutuhan orang lain daripada diri kamu sendiri. Mungkin tidak mengherankan bahwa pekerjaan yang secara rutin membutuhkan empati, seperti kesehatan dan jasa, layanan pelanggan atau pekerjaan amal, seringkali paling berisiko mengalami "compassion fatigue", ketidakmampuan akut untuk berempati yang didorong oleh stres dan kelelahan.
Menemukan keseimbangan
Jika empati itu penting dan terlalu banyak masalah, tantangan kamu adalah mengetahui di mana harus menarik garis batas. Keseimbangan sangat penting untuk menuai manfaat dari empati sambil membatasi segala kekurangan dari kelebihan.